Mengkerut dan Menyusutnya Makanan Cepat Saji

Ketika harga-harga bahan makanan merambat naik, maka pilihan bagi pengusaha makanan siap saji ada 2, yaitu menaikkan harga atau mengurangi kualitas dan kuantitas makanan. Jika anda terbiasa berbelanja makanan ke kedai atau warung, menaikkan harga itu mudah saja dan pelanggan bisa menerima dengan mudah pula karena ada komunikasi intensif antara penjual dan pembeli. Penjual akan menjelaskan dengan lugas alasan naiknya harga makanan yang mereka jual, sedangkan pembeli dengan cepat akan memahami.

Namun tidak demikian dengan penjual makanan di mal, apalagi makanan cepat saji. Di counter makanan dan restoran makanan cepat saji didalam mal, tidak ada pemilik yang menjelaskan kenaikan harga. Store manager juga tidak memiliki akses untuk menjelaskan kenaikan harga. Semuanya sudah ada dalam daftar harga, pembeli tinggal memilih, tidak ada pertanyaan atau perdebatan tentang harga. Namun dengan adanya daftar harga, akan membuat harga-harga di restoran tersebut tampak lebih mahal dari restoran-restoran pesaing jika kenaikan harga menjadi satu-satunya pilihan. Maka dari itu tidak semua harga otomatis dinaikkan jika ada kenaikan harga bahan baku makanan. Sebagian menu dipertahankan dalam harga semula hanya saja kualitas dan kuantitasnya yang diturunkan.

Saya termasuk yang sering makan di mal. Bukan karena uang saya banyak, tapi karena kepraktisan saja sambil mengurus outlet kerajinan saya disana. Sebenarnya jika pandai memilih paket-paket promosi, total pengeluaran untuk makanan akan lebih murah daripada memasak sendiri. Namun perlu diingat untuk menghindari makanan sampingan yang membuat anggaran makanan membengkak, seperti es krim, kentang goreng, perkedel dan sejenisnya. Dari situlah saya mengamati ada beberapa jenis makanan mengkerut dan menyusut, ada yang sedikit demi sedikit, ada yang sadis drastis.

Yang termasuk sadis drastis adalah spaghetti disalah satu restoran makanan cepat saji. Spaghetti ini dulunya satu wadah penuh. Sekarang wadahnya tetap sama, tapi isinya tinggal setengahnya. Akibatnya, si wadah tampak kedodoran. Begitu membuka dan isinya hanya sesedikit itu, sayapun tidak bisa menahan tawa, cekikikan sampai perut kaku. Walhasil spaghetti tersebut tidak pantas masuk dalam daftar menu makanan utama, melainkan layak disebut cemilan.

Yang termasuk lambat tapi pasti menyusut adalah menu cream soup di salah satu restoran cepat saji. Pertama kali masuk daftar menu, cream soup ini sungguh lezat, creamy, ditaburi potongan kecil ayam, disajikan dalam cup besar. Lalu terjadilah proses itu. Pertama-tama volume menyusut menjadi ¾ cup. Diikuti dengan menghilangnya potongan kecil ayam. Kemudian teksturnya mengencer. Terakhir saya beli volumenya tinggal ½ cup. Akhirnya sang wadah juga menjadi kedodoran seperti wadah spaghetti tadi.

Contoh lain adalah roti yang sudah menasional karena baunya yang selalu menyebar kemana-mana, menuntun pengunjung mal untuk menandatangi dan membelinya. Saya jarang membeli roti ini karena mal tempat roti ada, letaknya jauh dari rumah. Ketika saya membelinya hari ini, saya tersenyum kecut karena tidak sebesar dulu lagi, kira-kira menjadi setengahnya. Rasa asin seperti mentega juga tidak terlalu terasa. Demikian pula aroma kopinya tidak semerbak dulu. Menurut saya citarasanya menjadi nyaris sama dengan roti manis pada umumnya yang dijual ditoko-toko kebanyakan. Sayang sekali.

Pengusaha makanan berhak melakukan apa saja untuk bertahan ditengah kenaikan harga dan persaingan usaha yang semakin ketat. Konsumen bersiaplah untuk membayar lebih mahal atau melipatgandakan porsi. Hasil akhirnya sama saja, ya. Pengeluaran konsumen meningkat. Fiuh!

Post a Comment

0 Comments